Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul, 13 - 19 Mei 2013 | Page 42
-Wiji
pada 1999 mengaku menerima daftar nama itu. Ia mengatakan khilaf karena seharusnya tak ada penculikan. ”Itu kesalahan teknis di lapangan,” katanya.
Soeharto, ujar sumber Tempo,
menyebut para aktivis yang namanya tercantum di daftar itu dengan
sebutan ”setan gundul”. Operasi ini,
sesungguhnya tak sempurna meski terlihat sistematis. Seharusnya,
dalam operasi intelijen, targetnya
mesti semua mati atau tetap hidup.
Faktanya, mereka yang diculik Tim
Mawar ada yang mati. Dalam kesak-
sian Pius, selama ditahan, ia sempat
bertemu dengan Sonny dan Yani
Afri, serta mendengar suara Deddy
Hamdun di Cijantung. ”Operasi ini
menjadi kacau karena ada persaingan elite TNI,” ucap sumber Tempo.
Pensiunan jenderal tadi memberi
informasi sama. ”Ada operasi di dalam operasi,” katanya.
Indikasinya bisa dilihat selama
kesembilan aktivis itu ditahan di Cijantung. Para penculik kerap menanyakan keberadaan beberapa aktivis, termasuk Wiji Thukul, padahal
mereka sudah lama menghilang.
PERTANYAAN YANG
TAK TERJAWAB
H
AMPIR dua windu penculikan para aktivis pada
1998. Tapi, bagi Mugiyanto, satu dari belasan korban, tragedi itu tetap menyisakan pertanyaan:
”Dari mana instruksi penculikan itu?”
Mugi dulu aktivis Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi,
yang berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik. Ia diambil
dari rumah susun tempat ia tinggal, lalu diangkut ke markas
tentara. Ia kini memimpin Ikatan Orang Hilang (Ikohi), organisasi nonpemerintah yang setiap pekan menggelar aksi Kamisan, menuntut kejelasan korban penculikan yang belum
kembali.
Soal perintah penculikan pernah dijawab Mayor Bambang
Kristiono, komandan Tim Mawar yang dibentuk Komando Pasukan Khusus untuk menculik aktivis. Dalam persidangan di
Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta Timur pada 1999, Bambang
mengatakan instruksi penculikan ”datang dari hati nurani”.
Pengakuan Bambang tercatat dalam dokumen persidangan. Di situ, Bambang mengatakan, Tim Mawar dibentuk pada
Juli 1997 dan beranggota 11 orang. Ketika diperiksa, Bambang
mengatakan ide penculikan datang dari dia. Alasannya, karena dia risau melihat ”aksi aktivis radikal yang mengganggu
stabilitas nasional”.
Untuk menculik para aktivis bengal itu, Bambang membagi
Tim Mawar menjadi beberapa satuan lebih kecil, terdiri atas
tiga-empat orang. Operasi rahasia menggunakan metode hitam, dengan setiap posko berdiri sendiri.
Disebutkan, ada sembilan aktivis yang diambil paksa: Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang, Desmon J. Mahesa, Andi
Arief, Nezar Patria, Mugiyanto, Aan Rusdianto, Faisol Reza,
dan Raharjo Waluyo Jati. Mereka dibebaskan bertahap.
Mahkamah militer memecat dan menahan Bambang serta
empat anggota timnya. Enam anggota lain dihukum penjara,
tapi tidak disertai sanksi pemecatan.
Thukul:
Tim
Mawar-
Para aktivis yang sudah dibebaskan pun, seperti Herman Hendrawan, Bima, Sonny, dan Yani Afri,
yang sempat bertemu dengan akti vis lain, kembali menghilang. ”Kelompok lain yang menculik mereka,” ujar sumber Tempo.
Para pejabat militer yang bertugas ketika itu menolak diwawancarai. Sel gelap di markas Kopassus,
tempat aktivis disekap dan disiksa,
kini rata tanah. Di bekas bangunan
kini dibuat taman kembang warnawarni. Kontras dengan hitam nasib
aktivis yang tak jelas hingga kini. ●
Putusan peradilan itu, menurut mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Marzuki Darusman kala itu, janggal karena tak menjelaskan rantai operasi. Kejanggalan terasa
karena dalam surat dakwaan hanya dibatasi pada tanggung
jawab perorangan.
Dengan menerima pengakuan Bambang, pengadilan tak
mengusut lebih jauh keterlibatan perwira tinggi lain. Tuduhan penyiksaan dan penganiayaan terhadap korban juga tidak diusut. Apalagi berusaha mencari 13 aktivis yang masih
hilang. ”Dengan kata lain, Tim Mawar hanya bertanggung jawab atas sembilan aktivis yang dibebaskan,” ucap Mugi.
Dewan Kehormatan Perwira yang dibentuk petinggi ABRI
pada 3 Agustus 1998 untuk mengusut keterlibatan para perwira menyimpulkan penculikan atas perintah dan setahu pimpinan Kopassus. Disebutkan, operasi itu bukan inisiatif anggota Tim Mawar. Dewan bahkan menyatakan Prabowo mengakui penculikan itu. ”Prabowo salah menafsirkan perintah
komando,” kata Jenderal Subagyo, Ketua Dewan Kehormatan, pada saat mengumumkan hasil kesimpulan timnya.
Dewan tak menjelaskan alur komando operasi. Padahal,
menurut seorang anggota Dewan Kehormatan ketika itu,
pengusutan pada jalur komando akan merembet ke banyak
jenderal.
Rekomendasi yang disampaikan Dewan Kehormatan ada
dua: sanksi pensiun dini atau Mahkamah Militer untuk perwira yang terlibat. Namun pengadilan militer untuk para perwira kolonel ke atas tidak pernah digelar.
Prabowo Subianto menolak permintaan wawancara yang
diajukan Tempo. Namun, dalam wawancara dengan majalah
Panji pada 27 Oktober 1999, Prabowo menyebutkan penculikan sebenarnya bentuk menjalankan perintah pengamanan.
Ia mengatakan tidak memerintahkan operasi itu.
Mantan Panglima ABRI Jenderal Purnawirawan Wiranto
juga menolak berbicara tentang peristiwa tersebut. Ketika ditemui Senin pekan lalu, ia tak menjelaskan alasan Mahkamah
Militer tak dilaksanakan. ”Penyelesaiannya sudah cukup,”
ujar Ketua Umum Partai Hanura ini. ”Penculikan berlawanan
dengan konsep saya.” ●
1 APRIL 2012 |
| 79
79